Selasa, 06 Juni 2017

contoh kritik satra novel salah asuhan dengan pendekatan objektif

Sinopsis Novel Salah Asuhan
Hanafi, laki-laki muda asli Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Dari kecil Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee, gadis Indo-Belanda yang amat cantik parasnya. Karena selalu bersama-sama mereka pun saling mencintai. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan karena perbadaan bangsa. Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan Minangkabau dan pergi ke Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adatnya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Awalnya Hanafi tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Hanafi tidak mencintai Rapiah, di rumah Rapiah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Disana, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, disna Hanafi hanya diam saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum sublimat (racun) untuk mengakiri hidupnya, dan akhirnya dia meninggal dunia.


Kritik Sastra menggunakan Pendekatan Objektif pada Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Muis

Abdoel Moeis adalah seorang pengarang Balai Pustaka yang berasal dari daerah Minangkabau. Ayahnya orang Minang dan ibunya orang Sunda. Ia adalah seorang pejuang kebangsaan Indonesia yang sezamanan dengan H.O.S Cokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang perintis kemerdekaan, ia mulai menerjuni lapangan politik sejak tahun 1920 sebagai anggota Indie Werbar, kemudian menjadi pemimpin Serikat Islam dan menjadi anggota Volksraad.

Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah rendah Belanda di Bukittinggi, ia melanjutkan perjalan di Stovia, tetapi tidak sampai selesai. kemudian ia menjadi wartawan di Bandung. Salah satu novel karya beliau adalah novel yang berjudul “Salah Asuhan”. Novel ini menceritakan tentang perbedaan budaya atau adat di antara dua belah permukaan bumi.
Tema yang terdapat pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis adalah mengenai perbedaan adat istiadat antara Eropa dan Pribumi. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut “....dalam pergaulan bangsaku, bangsa Eropa sungguh longgarlah pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Tapi sebab sudah galib, tidaklah akan cepat orang berbuat fitnah atau menyangka buruk, apabila kelihatan laki-laki bergaul dengan perempuan lain, yang bukan ahli karibnya. Tetapi dalam pergaulan bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan dengan perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun dengan adik atau kakaknya sendiri, sudah disebut janggal, apabila ia bergaul atau duduk bersenda gurau, bahkan berjalan berdua-dua....”
Tak hanya tema namun juga terdapat alur dalam novel ini. Alur yang terdapat pada novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis adalah alur maju. Seperti yang ditulis pada kutipan berikut ini “...dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri itu. Sebelum ia membenarkan kata ibunya, iapun sudah dinikahkan dengan Rapiah....”
Pada novel “Salah Asuhan” ini pengarang juga meletakkan tokoh dan penokohan untuk mendukung jalannya cerita novel ini. Adapun tokoh-tokoh dan penokohan yang terdapat di dalam novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis yaitu  Hanaf, Corrie, Rapiah, Ibu Hanafi, Tuan du Bussee, Syafei, Si Buyung, Nyonya Pension, Piet, Nyonya Van Dammen, Tuan Aministratur.X              
Berdasarkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, diletakkan pula penokohan atau perwatakan pada masing-masing tokoh. Tokoh dalam novel ini terbagi dua yaitu tokoh utama dan tokoh pendukung atau tokoh figuran. Perwatakan atau penokoan yang diberikan pada masing-masing tokoh diantaranya, Hanafi wataknya sombong, keras kepala, kasar dan durhaka. Seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut “...Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua... kadang Hanafi amat keras kepala jika kehendaknya dibantah atau katanya disolang..“Hanafi!Anakku, tahulah engkau apa hukuman anak yang durhaka pada ibunya?...”.
Tokoh Corrie digambarkan dengan wataknya yang sabar, berpikiran tulus, injak-jinak merpati, baik, dan mudah bergaul. Seperti yang dapat dilihat dalam kutipan “..Ah, hati sabar, pikiran tulus, alam luas, pendeknya berkumpulah segala sifat-sifat yang mulia pada perempuan yang seorang itu....”. Sementara tokoh  Rapiah wataknya sabar, apa adanya, perhatian dan baik. “Rapiah yang tahu arti misbruik itu, menundukkan kepala, alamat bersyukur atas kemurahan hati junjunan itu... Sementara itu terdengarlah suara Rapiah, yang sedang menimang dan menidurkan anaknya. Syafei ditidurkannya selalu dengan nyanyian...’.

Ada pula tokoh yang digambarkan sebagai ibu yaitu Ibu Hanafi, wataknya digambarkan baik, sabar, lemah lembut, dan pemaaf. Seperti yang digambarkan pada kutipan berikut “Kesenangan ibu, hanyalah duduk di bawah, sebab semenjak ingatku duduk di bawah saja....
Astagfirullah, Hanafi! Turutkanlah ibumu mengucap menyebut nama Allah, supaya lapang bumi Allah bagimu dan tidak akan bertutur lagi dengan sejauh itu tersesatnya....”.

Selain ibu, peran Tuan du Busse juga berpengaruh dalam novel ini. Dia degambarkan dengan wataknya ysng  pemberani dan tegas. Seperti pada kutipan “...yang amat disukai oleh Tuan du Bussee ialah berburu harimau...Tapi Corrie mesti bersekolah yang sepatut-patutnya....”. Ada pula tokoh yang bernama Syafei. Syafei memiliki watak yang polos, seperti dalam kutipan  “...Syafei memandang dengan mata yang berkilau-kilauan kepada sekalian balon yang disisip-sisipkan pada sebilah pelapah enau, berkata dengan gembira dan melupakan segala ketakutan, “yang merah-yang merah...”.

Sementara itu si Buyung wataknya penurut, seperti dalam kutipan “...Si Buyung menolak kereta itu sampai ke dapur, lalu menceritakan apa yang diperintahkan kepadanya...”. dan tokoh  Nyonya Pension dengan wataknya yang taat beragama. Sebagaimana dalam kutipan “..Ya Nyonya”, sahut nyonya Pension, yang taat pada agamanya...”. Serta tokoh Piet dengan wataknya yang baik, seperti dalam kutipan “..Terima kasih, Piet! Terima kasih pula atas nasihat dan tutur katamu...”

Sifat Nyonya Van Dammen digambarkan dengan wataknya yang baik budi sebagaimana yang ada dalam kutipan “...Nyonya Van Dammen memang seorang perempuan yang baik budi...”.
Yang terakhir ada tokoh Tuan Administratur yang wataknya digambarkan peramah dan baik. seperti dalam kutipan “...Tuan administratur yang peramah itu tidak menyampaikan apa yang hendak dituturkannya... Terima kasih Tuan, kebaikan hati Tuan akan saya kenang-kenangkan..”.

Ada cerita tentu ada pula latar atau setting, baik itu latar tempat, waktu atau pun suasana. Setting yang terdapat dalm novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis  yaitu setting tempat diantaranya. Lapangan tennis yang terdapat dalam kutipan “...Tempat bermain tennis yang dilinndunginya oleh pohon-pohon sekitarnya, masih sunyi...”. Daerah yang juga menjadi latarnya yaitu Solok, Minangkabau seperti dikutip “Sungguhnpun ibunya orang kampung, dan selamanya tinggal diam di kampung saja, tapi sebab kasihan kepada anak, ditinggalkannyalah rumah gedang di Koto Anau, dan tinggallah ia bersama-sama dengan Hanafi di Solok.”
Latar yang bertempat di  Bonjol seperti dalam kutipan “...Ibu Rapiah hanya kuat sebulan menunggui anaknya di rumah Hanafi. Sesudah itu kembalilah ia ke Bonjol dengan hati yang amat sedih....”. serta kota  Padang yang juga menjadi latar. Sebagaimana dikutip dari “...Lebih dahulu dokter memerikan jalan kapal dari Padang...”.  Bumi Betawi yang hanya kiasan pun dapat dijadikan tempat seperti dalam kutipan “Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat ke Betawi.”

Ada pula tempat yang bernama Probolinggo seperti dalam kutipan “Kedua anak muda itu berjanjilah, bahwa Corrie akan temasa ke rumah sahabatnya, di pabrik kopi ‘Gunung Wayang’ di bawahan Probolinggo...” Dan  Gunung Sari seperti yng terdapat dalam kutipan “...Lekaslah membawa kabar ke Gunung Sari, Han...”. Serta Sukabumi yang diambil dari kutipan “...Sepulangnya kita dari Sukabumi, Han!Aku masih lelah, biarlah aku tinggal di rumah dahulu...”.

Kota Semarang juga menjadi latar tempat kejaian atau peristiwa dalam novel ini. Hal ini dapat dilihat dari kutipan “ Sepanjang jalan ke Semarang Hanafi bersandar saja di atas bangku kereta api, serta menutupkan matanya...”. Kemudian  Rumah Sakit seperti dalam kutipan “..Maka bangkitlah Hanafi dari duduknya, lalu menghambur ke luar, menaiki oto yang masih menanti, lalu berseru sekeras-kerasnya kepada supir,” Ayoh!Ke Rumah Sakit Paderi, lekas sekali!...”. Di daerah Surabaya juga dipakai untuk menjadi latar seperti yang terdapat dalam kutipan “..Di Surabaya mereka menumpang semalam di suatu pensional kecil....”. Serta tempat yang menjadi latar terakhir yaitu Gang Pasar. Seperti yang dikutip dalam nove ini ..“Di Gang Pasar Baru itu ia menyewa sebuah pavilyun, sedang buatannya sehari-hari hanyalah belajar main piano saja...”..

Ada latar tempat tentu ada pula latar waktu dan suasan. Latar atau Setting waktu yang terdapat dalam novel ini yaitu pada waktu Tengah 5 petang hari yang digambarkan dalam kutipan “..Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di tempat bermain itu, masih keras, karena dewasa itu baru pukul tengah 5 petang hari...”. Waktu  Malam yang digambarkan dalam kutipan “..Semalam-malaman itu Corrie tidak merasa tidur nyenyak..”. Waktu yang menunjukkan Pukul 4 yang digambarkan dengan “..Dari pukul 4 Corrie, sudah berhias dan memakai di muka cermin besar...”. Pad a waktu  Petang yang dikutip dalam “..Pada petang itu mereka sedang duduk bersenda gurau di dalam kebun Hanafi, tempat Hanafi menerima kedatangan Corrie dahulu, sebelum datang kawan-kawan yang hendak bermain... “

Latar waktu lain juga terdapat pada Hari Minggu. Seperti yang tertulis dalam kutipan “..Pada hari Minggu mereka  ke luar kota, mencari-cari hawa di tempat yang sunyi...”. Petang Kamis malam Jumat yang terlihat dari kutipan “..Pada petang Kamis malam Jumat, Hanafi sudah datang ke asrama, disambut oleh Corrie yang mengganti pakaian sekolahnya pada malam itu dengan pakaian berpesta....”.

Waktu subuh juga menjadi latar waktu yang digunakan ddalam novel in. Seperti padda kutipan “..Pada keesoka harinya, waktu subuh mereka sudah ada pula di stasiun...”. Latar waktu yang terakhir adalah waktu Pagi hari. Seperti yang terlihat dalam kutipan “...Fajar menyingsing  di sebelah timur, alamat matahari hendak naik...”.

Ada pula latar suasan yang juga sangat mendukung jalannya cerita dalam novel ini. Latar atau Setting suasana yang ada dalam novel “Salah Asuhan” ini yaitu suasananya perselisihan, kebahagiaan, kesedihan,  kecemasan, ironis, penuh emosi, sunyi. Seperti dalam kutipannya seperti berikut:

 Perselisihan seperti pada kutipan “..Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputra saja, Corrie! Janganlah kau ulang-ulang juga...”. Suasana bahagia seperti pada kutipan “..Oh, ruangan di dalam jantung Tuan Hanafi amat luas,”kata Corrie sambil tertawa,”buat menempatkan dua tiga orang perempuan saja masih berlapang-lapang....” Ada pula suasana sedih yang terlihat dalam kutipan  “...Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan....”
Suasana cemas juga terlihat dalam cerita ini. Seperti pada kutipan berikut “..Ibunya melihat keadaan serupa itu dengan kecemasan hati. Orang tua itu bukan tak arif, bahwa anaknya di dalam beberapa hari yang akhir ini berperangai luar biasa...”. Suasana lain, seperti suasana keironisan juga terlihat dalam kutipan “....Kesayangan Hanafi pada ibunya, belum seberapa; berlipat-lipat ganda kasih ibu kepada anak tunggal yang sudah tak berayah lagi itu. hanya sebab memikirkan nasib anaknya, maka Hanafi tetap meranda....”.
Suasana yang penuh dengan emosi pun digambarkan dalam cerita ini. Suasana ini terlihat dalam kutipan “..Sampai kering kerongkonganku memanggil si Buyung, seorangpun tidak menyahut!” kata Hanafi sambil membelakakan matanya kepada istrinya....”. serta suasana sepi yang terlihat dalam novel ini. Seperti tertulis dalam kutipan  “...Sejurus lamanya tidak kedengaran sepatah jua; sepatah katapun tidak...”.

Selain unsur instrinsik di atas ada pula sudut pandang, yang juga sangat mempengaruhi gaya bahasa serta cara penyajian cerita dalam novel ini. Sudut pandang yang digunakan yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Karena pada penyajian cerita pengarang menuliskan dengan menggunakan nama masing-masing tokoh .
Selain itu, dalam unsur instrinsik pada kritik objektif ini terdapat pula gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang. Gaya bahasa dalam novel ini cukup menarik, namun bagi para pembaca awan cukup sulit untuk menafsirkan atau memahami beberapa kata, agar dapat memahami isi cerita dari novel ini dengan baik.
Selain itu amanat juga berperan penting dalam menjembatani pembaca dengan pengarang ataupun dengan isi cerita dalam novel.  Amanat yang dapat diambil dari novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis ini yaitu kasih sayang seorang ibu tak kan ada batasnya, seorang ibu mencintai anaknya meskipun dalam keadaan salah. Sayangilah anak istri sesuai dengan ketentuan, petunjuk atau syariat-Nya. Karena penyesalan selalu datang terakhir, maka gunakanlah waktu dan kesempatan yang ada dengan baik dan jangan sia-siakan. Serta  sayangilah keluarga. Cintailah bangsa sendiri. Perjuangan mempertahankan cinta sejati sampai akhir nafas. Dan tentu saja jangan mudah berburuk sangka, carilah kebenarannya diantara setiap kejadian.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar